Berikut beberapa obyek wisata budaya yang ada di Kabupaten Pati :
1. Pintu Gerbang Kerajaan Majapahit
Tempat bersejarah ini terletak di Desa Muktiharjo,
Kecamatan Margorejo atau empat kilometer arah barat laut Kota Pati.
Pintu gerbang Majapahit ini dikenal menyimpan
banyak legenda dan kontroversi. Pada tahun 1479 Kerajaan Majapahit hancur
karena adanya Kerajaan Demak (Raden Patah dan Wali Sanga). Pada tahun 1486,
Pati yang merupakan Lereng gunung Muria, masih merupakan hutan belantara. Pada
suatu hari, Sunan Muria pulang dari Sarasehan (pertemuan) di padepokan Sunan
Ngerang. Sesampainya di barat kota Pati, sekitar jam 3 sore atau waktu ashar, kebetulan
di tepi hutan tadi terhalang sungai yang sedang banjir. Sunan Muria mau
menyeberang, tetapi tak ada perahu.
Lalu beliau mengadakan sayembara, barang
siapa yang bisa menyeberangkannya kalau laki-laki akan ia jadikan sebagai
saudara sinorowedi (saudara sejati) kalau perempuan akan ia jadikan istri.
Kebetulan di sebelah baratnya ada seorang wanita yang sedang menggembalakan
kerbau bernama Dewi Sapsari putri Ki Gedhe Sebo Menggolo. Setelah mendengar
sayembara tersebut, Dewi Sapsari dengan menunggang kerbau menyeberang ke timur.
Lalu ia menyeberangkan Sunan Muria. Sesampai di tepi sungai sebelah barat,
Sunan Muria menepati janjinya. Ia lalu ingin bertemu orang tua dari Dewi
Sapsari dan akan menyuntingnya sebagai istri. Lalu Sunan Muria menikahi Dewi
Sapsari.
Sepeninggal beliau pulang ke padepokan Gunung
Muria, Dewi Sapsari hamil. Lalu ia melahirkan seorang putra dan diberi nama
Raden Bambang Kebo Nyabrang, sesuai pertemuannya dengan suaminya yaitu Sunan
Muria. Setelah dewasa, anak itu menanyakan siapa sebenarnya ayahandanya itu
kepada kakeknya. Lalu kakeknya berkata kalau ia masih memiliki keturunan dengan
Sunan Muria yang ada di padepokan Gunung Muria.
Setelah mendengar hal tersebut, R. Bambang Kebo
Nyabrang pergi berangkat ke Gunung Muria. Sesampainya di padepokan, ia bertemu
dangan Sunan Muria. Tetapi Sunan Muria tidak mudah percaya dengan anak itu.
Lalu Sunan Muria memerintah Raden Bambang Kebo Nyabrang untuk membawa Pintu
Gerbang Majapahit ke hadapannya kalau ia mau diakui sebagai anak dan diberi
waktu 1x24 jam. Lalu berangkatlah R. Bambang Kebo Nyabrang ke Bajang Ratu yang
merupakan bekas Kerajaan Majapahit. Yang sekarang menjadi Kota Trowulan
Kabupaten Mojokerto Jawa Timur.
Di lain tempat, yaitu di padepokan Sunan
Ngerang, terdapat salah seorang muridnya yang bernama Raden Ronggo yang ingin
menyunting putri Sunan Ngerang, yang bernama Roro Pujiwat. Roro Pujiwat mau
diperistri apabila Raden Ronggo bersedia memboyong Pintu Gerbang Majapahit ke
padepokan.
Lalu R. Ronggo pun berangkat ke bekas Kerajaan
Majapahit. Tetapi, ia kecewa karena sesampainya di sana barang tersebut sudah
tak ada (sudah diboyong oleh R. Kebo Nyabrang). Lalu Raden Ronggo segera
mengejarnya ke arah barat. Sesampainya di barat kota Pati, R. Rongo masuk
kawasan hutan. Disana ia melihat pohon Kenanga yang berbentuk mirip
kurungan(sangkar). Kemudian ia menamai dukuh tersebut dengan nama Sekar Kurung.
Lalu ia melanjutkan misinya untuk mengejar R. Kebo Nyabrang. Dan ia pun
menemukan R. Kebo Nyabrang yang sedang istirahat. Pintu itu pun dimintanya.
Tetapi tidak diberikan oleh R. Kebo Nyabrang. Akhirnya timbul peperangan. Dalam
peperangan tersebut, penyangga pintu tersebut tercecer sehingga tempat tersebut
di beri nama “Njelawang” (Ganjel Lawang). Kemudian mereka menuju ke barat saat
itu jam dua belas siang saat semua orang harus beristirahat dan melaksanakan
sholat Dhuhur. Maka tempat tersebut diberi nama dukuh “Nduren” (samu barang
kudu leren). Mereka bertarung selama 35 hari. Lalu Sunan Muria turun ke arah
timur. Ia pun melihat dua orang bertarung dengan jelas (dalam bahasa jawa “cetho
welo-welo”), sehingga tempat tersebut diberi nama Dukuh Towelo/ Trowelo. Lalu
Sunan Muria turun ke tempat kedua orang tersebut bertarung. Lalu beliau berkata
“Wis padha lerena sak kloron padha bandhole”. Lalu berhentilah kedua orang
tersebut bertarung. Sehingga tempat tersebut hingga sekarang di namai dukuh
“Rendhole”. Sunan Muria pun lalu mengakui R. Kebo Nyabrang menjadi anaknya. Dan
beliau menyuruh anaknya tersebut untuk menjadi penjaga gerbang ini. Setelah
Sunan Muria berkata “jaganen !!” (jagalah) maka ia pun langsung meninggal dan
hilang nyawanya karena sebagai seorang penjaga harus tidak terlihat.
R. Ronggo diberi “katek“ oleh Sunan Muria untuk
dibawa ke padepokan. Tetapi sesampainya di sana Roro Pujiwat tidak menerimanya.
Raden Ronggo pun marah dan mengejarnya hingga ke barat. Sesampinya di sungai
Juwan Roro Pujiwat berhenti. R. Ronggo yang marah lalu melempar katek tersebut
kearah Roro Pujiwat. Roro Pujiwat meninggal. Katek tersebut hilang seperti
kilat. Sehingga sampai sekarang dinamai “Segelap”.
2. Genuk Kemiri (Petilasan Kadipaten Pesantenan)
Terletak di desa Sarirejo kecamatan Pati, obyek
wisata yang berada di petilasan ini adalah Genuk Kemiri, Makam Aryo Kencono dan
Pendopo Kadipaten Pesantenan. Genuk Kemiri dahulu adalah tempat wudhu (
padasan ) Raden Kembang Joyo yang membuka lahan baru di desa Kemiri saat ia
diserahi tampuk pimpinan Kadipaten Carangsoko, waktu menebang pohon Raden
Kembang Joyo merasa haus minta minum kepada Ki Ageng Cendono dan diberi minuman
dicampur dengan santan sehingga kemudian desa Kemiri dinamakan desa pesantenan
sekaligus sebagai pusat dari Kadipaten Pesantenan dengan pohon beringin kurung
di alon – alon hingga kini masih ada. Ketika Adipati Kembangjoyo akan meninggal
Ki Patih Soponyono diserahi semua pusaka karena putranya bernama Raden Tombronegoro
tidak kuat mewarisi pusaka tersebut, kemudian pusaka dimakamkan dan diberi nama
makam Aryo Kencono yang artinya Patih menunggu pusaka Kembang Joyo.
3. Sendang Sani
Sendang Tirta Marta Sani berada di
Desa Tamansari Kecamatan Tlogowungu, Kabupaten Pati. Lokasi wisata Sendang Sani
hanya berjarak 5 kilometer dari pusat kota Pati sehingga memudahkan pengunjung
yang hendak mendatangi lokasi wisata alam ini. Meskipun terletak di dekat kota,
panorama alam di lokasi wisata Sendang Sani masih terjaga sehingga membuat
pengunjung serasa berada di alam pedesaan.
Desa Sani sebenarnya berasal dari sebuah
sendang yang ditempati oleh seekor bulus, penjelmaan dari seorang abdi Sunan
Bonang. Pada suatu hari Sunan Bonang akan pergi ke Gunung Muria untuk menjumpai
Sunan Muria. Beliau ditemani oleh dua orang abdinya. Di tengah perjalanan
beliau merasa haus dan kegerahan karena matahari yang begitu teriknya bersinar.
Kemudian beliau menyuruh salah seorang abdinya mencari air untuk minum dan
wudlu. Abdi tersebut diberi petunjuk oleh Sunan Bonang untuk mencari sumber air
di bawah sebuah pohon rindang. Untuk memudahkan pekerjaan, Sunan Bonang
membekali abdinya dengan sebuah tongkat sakti untuk ditancapkan di bawah pohon
tersebut. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, abdi itu pun berhasil
menemukan pohon rindang seperti yang diinginkan oleh Sunan Bonang. Dengan
segera ditancapkannya tongkat sakti ke tanah. Dan ajaib! Dari tempat itu
keluarlah air yang memancar terus-menerus. Maka dalam waktu yang singkat tempat
itu telah menjadi sebuah sendang. Karena gembiranya lupalah ia akan pesan Sunan
Bonang. Ia segera turun ke sendang untuk minum dan mandi, menghilangkan dahaga
dan kegerahannya. Karena dirasa abdinya tak junjung kembali, maka Sunan Bonang
memutuskan untuk mencarinya. Setelah mencarinya kesana kemari, akhirnya
ditemukan juga abdinya itu. Betapa terkejutnya Sunan Bonang ketika melihat
abdinya sedang asyik mandi. Maka dengan segera ditegurnyalah abdi itu.
Dikutuknya abdi itu, “Lho kamu saya suruh, tidak membawa air, malah mandi
seperti Bulus”. Maka dalam sekejap saja abdi Suanan Bonang berubah menjadi
seekor bulus. Ketika bulus bercermin di air sendang, menangislah ia melihat
bentuk tubuhnya dari manusia menjadi seekor bulus. Ia minta maaf kepada Sunan Bonang,
tetapi perkataan atau kutukan tidak mungkin ditarik kembali. Tidak mungkin
sudah meludah dijilat balik, demikian pepatah mengatakan. Abdi Sunan Bonang
yang telah menjadi bulus tidak diperkenankan ikut menuntaskan perjalanan ke
Gunung Muria. Ia disuruh tinggal di sendang untuk menjaga sendang tersebut.
Sunan Bonang berujar, “Aku namakan sendang ini Sendang Sani dan kelak tempat
ini akan diberi nama desa Sani”. Setelah berujar demikian maka Sunan Bonang pun
kembali menuntaskan perjalanan bersama abdinya yang seorang lagi. Beliau
melanjutkan perjalanan ke Gunung Muria untuk berunding dengan Sunan Muria
mengenai masalah keagamaan. Untuk menghormati penghuni sendang tersebut, maka
oleh masyarakat dibuatkanlah suatu tempat khusus. Konon, barang siapa yang
berani mengganggu tempat tinggal bulus tersebut, maka orang yang mengganggunya
akan jatuh sakit. Dari cerita di atas hendaknya kita dapat mengambil hikmah.
Bahwa apabila kita mendapat suatu kepercayaan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan hendaknya kita laksanakan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa
tanggung jawab. Pepatah mengatakan “Sekali Lancang, seumur hidup orang tak akan
percaya”. Sekali orang melakukan kesalahan atau berdusta orang tidak akan
mempercayainya lagi.
Selain menikmati panorama keindahan alam,
pengunjung juga dapat menikmati berbagai fasilitas hiburan di lokasi ini. Salah
satu yang digemari pengunjung adalah kolam renang. Selain air yang digunakan
berasal dari air pengunungan yang mengalir, kolam renang ini juga
dilengkapi dengan papan luncur serta gazebo di sekitar kolam. Ada dua kolam
yang disediakan yakni kolam dangkal untuk pengunjung anak anak dan kolam dalam
bagi pengunjung dewasa . Pengunjung yang enggan turun ke dalam air dapat
sekedar bersantai di gazebo yang telah disediakan .
Selain kolam renang, adapula kolam pemancingan
yang dilengkapi dengan fasilitas alat pancing serta umpan dan bebek air. Bagi
pengunjung yang ingin merasakan sensasi berkendara diatas air, dapat mencoba fasilitas
ini.
Selain fasilitas tersebut, Obyek Wisata Sendang
Sani kini juga mempunyai fasilitas baru bagi pengunjung yang gemar dengan
tantangan alam yakni outbond. Terdapat berbagai fasilitas di arena ini untuk
menguji nyali pengunjung.
Posting ini telah diminati sebanyak
22113 (orang)